Pengertian Konflik
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan
Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu
“perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang menjadi
“ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”
Menurut Dean
G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai
secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan
pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah duo yang
dinamis.
Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Teori-teori Utama Mengenai Sebab-sebab Konflik
1.
Teori hubungan masyarakat. Menganggap bahwa
konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan
permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran:
meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami
konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling
menerima keragaman yang ada didalamnya.
2.
Teori kebutuhan manusia. Menganggap bahwa konflik yang
berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang
tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah
keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran:
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak
terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
3.
Teori negosiasi prinsip. Menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik
oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang
berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu
dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka
daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses
kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
4.
Teori identitas. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran: melalui fasilitas
lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat
mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun
empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
5.
Teori kesalahpahaman antarbudaya. Berasumsi bahwa
konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara
berbagai budaya yang berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang
berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka
miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
6.
Teori transformasi konflik. Berasumsi bahwa
konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang
muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Penyebab Konflik (1)
- Konflik
dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi
karena allternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika
konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi
sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.
- Aspirasi
dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu
masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu
mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka
percaya bahwa berhak memeiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama
bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis.
Penyebab
Konflik (2)
A. Faktor Manusia
1.
Ditimbulkan
oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2.
Personil
yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3.
Timbul
karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis,
temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor
Organisasi
1.
Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya
baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka
dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya
konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2.
Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Tiap-tiap unit
dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya.
Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya,
unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih
menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan
tujuan untuk memajukan perusahaan.
3.
Interdependensi tugas. Konflik terjadi karena adanya saling
ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu
tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4.
Perbedaan nilai dan persepsi. Suatu kelompok
tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang
tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka
mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer
senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.
5.
Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi
karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang
tindih.
6.
Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu
unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan
unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya
dalam status hirarki organisasi.
7.
Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam
perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan
konflik antar unit/ departemen.
Akibat Negatif Konflik
- Menghambat
komunikasi.
- Mengganggu
kohesi (keeratan hubungan).
- Mengganggu
kerjasama atau “team work”.
- Mengganggu
proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
- Menumbuhkan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
- Individu
atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan
kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.
- Apabila
konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak
pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan
maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis,
acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa
demonstrasi.
Akibat Positif Konflik
- Membuat
organisasi tetap hidup dan harmonis.
- Berusaha
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
- Melakukan
adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan
prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
- Memunculkan
keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
- Memunculkan
persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
- Konflik
bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila
dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan:
Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan
dan tanggung jawab mereka, Memberikan saluran baru untuk komunikasi,
Menumbuhkan semangat baru pada staf, Memberikan kesempatan untuk
menyalurkan emosi, Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata
dalam organisasi.
Strategi Mengatasi Konflik
- Munculnya
konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik dapat dikelola
dengan baik, maka konflik dapat memberi kontribusi positif terhadap
kemajuan sebuah organisasi. Beberapa startegei mengatasi konflik antara
lain adalah:
1.
Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi
yang lebih disukai salah satu pihak atau pihak lain;
2.
Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri
dan bersedia menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan;
3.
Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu
mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak;
4.
With
Drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik baik
secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian terhadap
kontroversi, dan
5.
Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana
masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah
sampai kapan.
Konflik Sebagai Suatu Oposisi
- Konflik, dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi, yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan, dan ide.
- Dalam pada itu, ketika individu bekerja sama satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuannya, maka wajar seandainya dalam waktu yang cukup lama terjadi perbedana-perbedaan pendapat di antara mereka. Ibarat piring, banyak yang pecah atau retak, hanya karena bersentuhan dengan piring lainnya.
Tahap Berlangsungnya Konflik
Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik.
Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik.
- Tahap potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik;
- Konflik terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya;
- Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan;
- Konflik terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan secara terbuka;
- Akibat konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan.
Latar Belakang Konflik
- Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya.
- Konflik
adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan
dengan integrasi.
- Konflik
dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang
terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konflik.
Faktor-faktor Penyebab Konflik
- Adapun faktor-faktor penyebab konflik antara lain:
- Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan;
- Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya;
- Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan
- Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Tingkatan Konflik
1.
Konflik intrapersonal, yaitu konflik internal yang
terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika
individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan,
dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan.
2.
Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar
individu. Konflik yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu,
tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.
3.
Konflik intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu
kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau
efektif. Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian
yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang
berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan
emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4.
Konflik intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok.
Konflik intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan
persepsi, perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
5.
Konflik intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar
bagian dalam suatu organisasi.
6. Konflik interorganisasi, yang terjadi antar organisasi. Konflik inter
organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama
lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang
menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang
terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi masyarakat.
Metode Penyelesaian Konflik
- Dominasi
atau Supresi
- Kompromis
- Pemecahan
Problem Integrative
Penyelesaian Konflik: Dominasi atau Supresi
- Metode-metode
dominasi dan supresi biasanya memilki dua macam persamaan, yaitu:
1.
Mereka
menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan jalan memaksakan konflik
tersebut menghilang “di bawah tanah”;
2.
Mereka
menimbulkan suatu situasi manang-kalah, di mana pihak yang kalah terpaksa
mengalah kaena otoritas lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaanya,
dan mereka biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan muncul.
Tindakan Supresi dan Dominasi
- Memaksa
(Forcing).
Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan banyak
bicara, saya berkuasa di sini, dan Saudara harus melaksanakan perintah
saya”, maka semua argumen habis sudah. Supresi otokratis demikian memang
dapat menyebabkan timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung,
tetapi destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan
(Malicious obedience) Gejala tersebut merupakan salah satu di antara
banyak macam bentuk konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan)
konflik terus-menerusa diterapkan.
- Membujuk
(Smoothing).
Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara untuk menekan
(mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang manager
mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia
mencoba secara sepihak membujuk phak lain, untuk mengkuti keinginannya.
Apabila sang manager memilki lebih banyak informasi dibandingkan dengan
pihak lain tersebut, dan sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut
dapat bersifat efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang
menejer menguntungkan pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan yang
berlaku, maka pihak lain yang kalah akan menentangnya.
- Menghindari
(Avoidence).
Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar dating pada seorang
manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang manajer
menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak
akan mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap
pura-pura bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan
menghindari. Bentuk lain adalah penolakan (refusal) untuk menghadapi
konflik, dengan jalan mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan
tindakan, “sampai diperoleh lebih banyak informasi”
- Keinginan
Mayoritas (Majority Rule). Upaya untuk menyelesaikan konflik
kelompok melalui pemungutan suara, dimana suara terbanyak menang (majority
vote) dapat merupakan sebuah cara efektif, apabla para angota
menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair” Tetapi,
apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus mencapai
kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan mereka akan
mengalami frustrasi.
Penyelesaian Konflik: Kompromis
- Melalui
tindakan kompromi, para manajer mencoba menyelesaikan konflik dengan jalan
menghimbau pihak yang berkonflik untuk mengorbankan sasaran-sasaran
tertentu, guna mencapai sasaran-sasaran lain.
- Keputusan-keputusan
yang dicapai melalui jalan kompromi, agaknya tidak akan menyebabkan
pihak-pihak yangberkonflik untuk merasa frustasi atau mengambil sikap
bermusuhan.
- Tetapi,
dipandang dari sudut pandanga organisatoris, kompromis merupakan cara
penyelesaian konflik yang lemah, karena biasanya tidak menyebabkan
timbulnya suatu pemecahan, yang paling baik membantu organisasi yang
bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya.
- Justru,
pemecahan yang dicapai adalah bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik
dapat “hidup” dengannya.
Bentuk-bentuk Kompromis
- Separasi
(Separation),
pihak yang berkonflik dipisahkan sampai mereka mencapai suatu pemecahan;
- Aritrasi
(Arbitration),
pihak-pihak yang berkonflik tunduk terhadap keputusan pihak keiga (yang
biasanya tidak lain dari pihak manejer mereka sendiri);
- Mengambil
keputusan berdasarkan factor kebetulan (Settling by chance), keputusan
tergantung misalnya dari uang logam yang dilempar ke atas, mentaati
peratuan-peraturan yang berlaku (resort to rules) , dimana para pihak yang
bersaingan setuju untuk menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada
peraturan-peraturan yang berlaku;
- Menyogok
(Bribing),
Salah satu pihak menerima imbalan tertentu untuk mengakhiri konflik
terjadi.
Penyelesaian Konflik: Pemecahan Problem
Integrative
- Dengan
metode ini konflik antar kelompok dialihkan menjadi sebuah situasi
pemecahan masalah bersama, yang dapat dipecahkan dengan bantuan
teknik-teknik pemecahan masalah.
- Pihak-pihak
yag berkonflik, bersama-sama mencoba memecahkan problem yang timbul antara
mereka.
- Justu
mereka tidak menekan konflik ataupun mencoba mencari suatu kompromis,
tetapi mereka secara terbuka bersama-sama mencoba mencari sebuah pemecahan
yang dapat diterima oleh semua pihak.
Tipe Penyelesaian Konflik Secara Integrative
- Ada
tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu
metode:
1.
Consensus
(Concencus);
2.
Konfrontasi
(Confrontation); dan
Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate
goals)
6 Tipe Pengelolaan Konflik
- Manajemen
harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang melahirkan
konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak spirit
sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment. Ada 6 tipe
pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul
(Dawn M. Baskerville, 1993:65) yaitu :
1.
Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang
cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan
potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak
menimbulkan konflik terbuka.
2.
Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan
pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik,
selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak
lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh.
3.
Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan
cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga
kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan
(lose-lose solution).
4.
Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling
bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang
dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain
yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
5.
Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling
bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka
justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap
menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai
(menghasilkan win-win solution).
6.
Conglomeration (mixtured type); cara ini menggunakan kelima
style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.
Gaya dalam Penyelesaian Konflik
- Perlu
kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau
organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan
dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi,
kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang
atau organisasi.
- Dapat
dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan
fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau
perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan
nilai (value) seseorang tersebut.
- Pada
level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk
memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang
dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya
sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya (M. Kamil
Kozan, 2002:93-96).
Taktik Penyelesaian Konflik
- Rujuk: Merupakan
suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan
yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
- Persuasi: Usaha mengubah
po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul,
dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita
menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang
berlaku.
- Tawar-menawar:
Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling
mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan
komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
- Pemecahan masalah terpadu:
Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses
pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara
terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan
alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi
kedua pihak.
- Penarikan diri:
Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri
dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak
perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu
sama lain.
- Pemaksaan dan penekanan:
Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif
bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila
tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau
bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena
salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.
- Intervensi (campur
tangan) pihak ketiga: Apabila fihak yang bersengketa
tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka
pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Penyelesaian Konflik dengan Pihak Ketiga
- Arbitrase
(arbitration):
Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai
“hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak
menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada
terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
- Penengahan
(mediation):
Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator
dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus,
menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk
pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga
pada bakat dan ciri perilaku mediator.
- Konsultasi: Tujuannya untuk
memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan
mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la
menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran
bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga
menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar