ANCAMAN TERORISME
DAN FUNDAMENTALISME KEBERAGAMAAN
Disusun
oleh:
Muhammad
Tasdik (10411073)
PAI
2
Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah
ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang di
berikan oleh Dosen pengajar. dalam makalah ini penulis membahas tentang fundamentalisme
dan terorisme dengan pertimbangan materi di atas merupakan bahan tugas
pendidikan kewarganegaraan sehingga dapat membantu untuk lebih memahami materi
kewarganegaraan.
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari adanya
berbagai kekurangan baik dalam isi materi maupun penyusunan kalimat. Namun
demikian pebaikan merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada DRS. H.
Khamim dan teman- teman sekalian yang
telah membaca dan mempelajari makalah ini
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak untuk hidup adalah hak asasi
yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak
asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).
Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak
untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan
setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak
untuk mengambil hak hidupnya.
Dalam hal ini terdapat beberapa
pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur juga
dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan:
protection the
right of every person to their life. The article contains exceptions for the
cases of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force
which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or
others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections.
Pengecualian terhadap
penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang
oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa
alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah
melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Terorisme biasanya selalu
dikaitkan dengan fundamentalisme agama.
B.
Pokok Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok masalah,
yaitu:
1.
Apakah terorime dan fundamentalisme keberagamaan itu?
2.
Apakah sebab munculnya terorime dan fundamentalisme
keberagamaan?
3. Bagaimana
cara menanggulangi dampak terorime
dan fundamentalisme keberagamaan?
BAB
II
TERORISME
A.
Definisi Terorisme
Sebuah asas hukum menyatakan nullum
crimen sine poena, yang artinya adalah tiada kejahatan yang boleh dibiarkan
begitu saja tanpa hukuman. Demikian pula dengan kejahatan terorisme yang harus
dibuatkan suatu instrumen hukumnya. Saat ini, terorisme telah menjadi suatu
kejahatan lintas negara, terorganisir, dan bahkan merupakan tindak pidana
internasional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional.
Secara bebas, terorisme dapat
diartikan suatu ancaman teror untuk melakukan kejahatan dan kekerasan dengan
tujuan meneror orang lain, menimbulkan ketidaknyamanan atau gangguan terhadap
publik, tanpa alasan dan tujuan yang benar.
Isu terorisme mulai sering
dibicarakan sejak perang dingin antara dua negara adikuasa berakhir, yakni
setelah kalahnya negara adikuasa Uni sofyet ketika memerangi Afganistan. Kemudian
negara-negara Islam yang berada dalam cengkeraman negara tersebut berusaha
melepaskan diri. Bahkan lebih mengemuka lagi istilah terorisme setelah kejadian
11 September di Amerika Serikat tahun 2001.
Banyaknya pihak yang
berkepentingan dalam kasus terorisme terutama terkait dengan isu politik dan
agama, telah melahirkan berbagai opini. Contohnya, teroris diidentikkan sebagai
tokoh Islam yang taat beribadah, berjenggot, bercelana cingkrang dan selalu membawa
mushaf kecil. Pernyataan ini menunjukkan keterbelakangan tokoh tersebut dari aspek
informasi dan pemikiran, bahkan pemahamannya akan ajaran agama. Pernyataan
tersebut selain tidak sesuai dengan fakta, juga terselip bentuk kebencian
terhadap umat Islam. Contoh lain adalah keberadaan
kelompok Jamaah Islamiyah ini sesunguhnya belum bisa dibuktikan secara tepat,
terutama kaitan kelompok ini dengan kelompok teroris internasional, Al-Qaeda.
Penggunaan nama Jamaah Islamiyah pada kelompok ini menuai kritik dari beberapa
kalangan intelektual muslim, karena penggunaan istilah Jamaah Islamiyah pada
kelompok tersebut berarti “Kumpulan Umat Islam”, yang berarti merujuk pada
seluruh orang yang menganut agama Islam.
Terorisme adalah musuh bersama
bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan, musuh rakyat Indonesia dan musuh dunia.
Ada 2 alasan penting mengapa terorisme menjadi musuh bersama bangsa Insonesia :
1.
Demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika
tidak merasa aman. Padahal gerakan reformasi bertujuan membuat kita semua
merasa lebih aman di rumah sendiri dan lebih nyaman dalam kehidupan bernegara.
Kita semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang ingin mengambil
rasa aman.
2. Terorisme
adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk gerakan yang terorganisasi.
Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang
mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
B. Sebab-Sebab Muncul dan Berkembangnya Terorisme
Mengenal sebab sesuatu hal yang ingin kita obati
merupakan perkara yang sangat penting. Dengan mengetahui sebab-sebab tersebut,
akan dengan mudah mendiagnosa untuk selanjutnya memberikan terapi yang tepat
terhadap suatu penyakit. Begitu juga untuk mengatasi kasus terorisme maka kita
perlu mengetahui penyebab aksi teror tersebut terlebih dahulu. Jika kita cermati banyak sekali fakror yang
mendukung dan menyebabkan muncul dan berkembangnya terorisme. Berikut ini akan
kami sebutkan faktor yang paling dominan, diantaraya :
1.
Penindasan
yang dialami kaum muslimin di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara
yang mayoritas non-muslim.
Walaupun
menurut undang-undang internasional setiap individu dijamin kebebasan untuk
menjalankan agamanya, akan tetapi undang-undang ini hanya dinikmati oleh orang
non-muslim yang berada di negara-negara Muslim. Adapun untuk orang muslim yang
berada di negara-negara non-muslim, undang-undang tersebut tidak diberlakukan.
Mereka dikekang dan dibelenggu dalam menjalankan ajaran agama mereka secara
sempurna. Ketimpangan ini memicu sebagian umat untuk memperjuangkan hak mereka
dengan cara teror-teror di Negara-negara non-muslim.
2. Penjajahan dan pencaplokan terhadap negara-negara
muslim, seperti di Palestina, Iraq, dan Afganistan.
Dunia bungkam seribu bahasa terhadap
penjajahan yang dilakukan Israil dan Amerika. Mengapa presiden George Bush
tidak dibawa ke mahkamah hukum internasional sebagai penjahat perang dimana dia
telah menentang keputusan PBB dan dunia internasional dalam aksi penyerbuannya
ke Iraq. Demikian pula kekejaman Israil terhadap rakyat Palestina. Mengapa
dunia internasional tidak bertindak dan menghukum Israil terhadap kejahatan dan
kekejamannya di Palestina. Hal seperti inilah yang melahirkan aksi-aksi terror
di berbagai belahan dunia.
3. Terdapatnya kedzaliman sebagian penguasa terhadap
para aktifis dakwah.
Berbagai
konflik perebutan kebijakan dalam kekuasaan antara aktifis dakwah dengan
sebagian penguasa tidak jarang bermuara kepada penculikan dan pembunuhan
karakter dari pihak penguasa terhadap para aktifis dakwah. Ditambah lagi dengan
adanya berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab yang secara sengaja
membenturkan antara umat Islam dengan penguasa, kemudian lahirlah kekhawatiran
dari pihak penguasa akan terjadinya Islamisasi terhadap sebuah bangsa dan
dianggap dapat mengganggu keamanan dan persatuan bangsa.
4.
Kebodohan
umat terhadap agama terutama masalah aqidah dan jihad.
Jihad
dalam pengertian umum yaitu berjihad dengan segala yang baik sesuai kemampuan
masing-masing. Baik berupa harta atau ilmu, baik secara lisan maupun tulisan.
Adapun jihad dalam pengertian khusus adalah jihad dengan senjata melawan orang
kafir. Hal inilah yang umumnya dijadikan dasar para teroris dalam melancarkan
teror-terornya.
5.
Ghuluw
(ekstrim) dalam pemahaman dan pengamalan agama dari sebagian generasi muda
Islam.
Adapun
ghuluw di sini adalah melampaui batas perintah agama sehingga terjatuh kepada
perbuatan bid'ah. Semangat beragama yang tidak diiringi dan didukung oleh
pengetahuan agama yang cukup dan pemahaman yang benar sering membawa kepada
sikap ekstrim dalam bersikap dan bertindak. Hal inilah yang sebagian besar
mempengaruhi tumbuhnya gerakan terorisme dengan sasarannya adalah kaum muda
karena pemahaman mereka yang sedikit tentang agama.
6.
Jauh
dari bimbingan ulama dalam mempelajari dan memahami ajaran agama.
Mempelajari
agama secara otodidak atau belajar agama bukan kepada ahlinya merupakan
penyebab utama lahirnya berbagai kesesatan dalam menghayati dan mengamalkan
ajaran agama diantaranya lahirnya terorisme. Yang salah bukan agama, akan
tetapi cara dan jalan yang ditempuh dalam memahaminya. Bukan hanya ilmu agama,
ilmu dunia sekalipun jika tidak dipelajari melalui ahlinya akan membawa kepada
kebinasaan.
7.
Merajalelanya
kemungkaran di tengah-tengah masyarakat, baik dari segi akhlak maupun
pemikiran.
Kebebasan
berfikir dan berekspresi tanpa karidor dan batas telah membuka pintu
lebar-lebar bagi para menyembah hawa nafsu dan kaum zindiq untuk merusak ajaran
agama. Adapun jika seseorang berkeinginan menjalankan ajaran agama secara benar
justru dianggap melanggar kebebasan. Kebebasan sepihak ini membuat sebagian
pihak yang tidak senang dan memicu tindak teror di tengah-tengah masyarakat.
8. Lemahnya pengawasan badan penegak hukum dalam
menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum yang terjadi.
Seringkali
lembaga penegakan hokum tidak peka terhadap permasalahan agama yang berpotensi
menciptakan konflik. Hal ini menyebabkan sebagian orang lebih memilih
menerapkan hukumnya sendiri-sendiri. Misalnya, lebih memilih menghukum orang
dengan cara-cara terorisme.
C. Terorisme Dan Identitas Soliter
Ideologi terorisme senantiasa hidup, bahkan tumbuh subur di tengah
gejolak politik global yang tidak adil dan kondisi obyektif sosial ekonomi yang
kian karut-marut. Karena itu, diperlukan pendekatan yang mampu membongkar
akar-akar terorisme. Harus diakui, kekerasan bukan hal baru, usianya setua umur
manusia. Sejak manusia ada di bumi, sejak itu pula kekerasan mewujud sehingga
Tuhan menciptakan manusia agar membawa misi perdamaian melalui para utusan-Nya
dan akal budi. Menurut Sen, dalam sejarah agama dan negara bangsa, identitas
soliter menjadi paling dominan penduduk bumi, yaitu identitas tunggal yang
dianggap publik sebagai satu-satunya yang benar. Keyakinan itu lahir karena
identitas dipahami sebagai takdir, bukan sesuatu yang bersifat dinamis,
kontekstual, dan plural. Baik negara maju maupun berkembang sedang mengidap
penyakit identitas soliter.
Untuk menggambarkan bahaya identitas soliter, ada sejumlah
peristiwa masa lalu yang perlu dijadikan pelajaran. Konflik antara suku Hutu
dan Tutsi di Rwanda memutus identitas kebangsaan dan kemanusiaan. Dalam hal
ini, kesalahan terbesar dari ilusi identitas soliter adalah pengotakan
identitas ke dalam federasi agama-agama dan peradaban. Padahal, setiap manusia
tidak bisa disederhanakan dalam identitas soliter karena setiap manusia
mempunyai identitas beragam. Di antaranya identitas bahasa, suku, organisasi,
pendidikan, afiliasi politik, profesi, dan lain-lain. Karena itu, paham tentang
"Barat dan anti-Barat" yang melanda masyarakat dunia saat ini menyimpan
kemuskilan tersendiri. Di satu sisi paham itu mengotak-ngotakan identitas ke
bentuk tunggal yang ekstrem. Di sisi lain, paham itu mengabaikan kemajemukan
dan persinggungan antaridentitas. "Islam" dan "Barat".
Dalam sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan, matematika, dan
sains, yang belakangan dianggap sebagai "Barat", pada hakikatnya
merupakan identitas peradaban yang lahir dan tumbuh di Timur. Sebaliknya,
rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rushd adalah transmisi rasionalitas yang
lahir dari rahim Aristoteles di Yunani. Demokrasi yang selama ini identik
dengan Barat pada hakikatnya sudah dipraktikkan di Timur, seperti India, Iran,
dan Arab. Begitu pula pemilahan identitas antara "Islam" dan
"Barat" mempunyai kemuskilan tersendiri sebab di tengah komunitas
Muslim, identitas Barat diterima, dipelajari, dan dikritisi. Sebaliknya di
Barat, tradisi dan khazanah Islam menjadi salah satu bidang kajian yang
diminati. Di antara mereka ada yang menjadi imam masjid, aktivis, pemikir, ahli
komputer, mistikus, feminis, dan pebisnis media. Bahkan, populasi umat Islam di
Amerika terus bertambah dan pelan-pelan menyodok populasi umat Yahudi. Atas
dasar itu, Diana L Eck menyebut Amerika sebagai salah satu Islamic world.
Dengan demikian, simplifikasi identitas "Barat dan anti-Barat" serta
"Islam" dan "Barat" merupakan salah satu bentuk identitas
soliter yang tidak bisa dipertahankan lagi. Pilihan atas identitas adalah
pilihan terbuka, yang sejatinya membangun rasionalitas dan perdamaian. Karena
itu, federasi agama-agama dan peradaban sebisa mungkin dijadikan federasi yang
terbuka untuk dialog, bukan federasi yang tertutup dan soliter sebab federasi
yang soliter hanya menyuburkan kebencian dan kekerasan
C. Dimensi Terorisme
Kejahatan terorisme merupakan
salah satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat menakutkan
masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik
di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang
dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Hal ini menyebabkan
Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000
mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders,
antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan
kekerasan yang perlu mendapat perhatian. Menurut Muladi, terorisme merupakan
kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan
dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena
berbagai hal:
a.
Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan
bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam
hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi
untuk bebas dari rasa takut.
b.
Target terorisme bersifat random atau indiscriminate
yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
c.
Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah
massal dengan memanfaatkan teknologi modern.
d.
Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar
organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional.
e.
Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris
dengan kejahatan yang terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun
transnasional.
f.
Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional.
Terorisme sebagai kejahatan telah
berkembang menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara
tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim
termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli
Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi
yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang
berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang
bersifat lintas batas teritorial. Kejahatan terorisme menggunakan salah satu
bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan
kedamaian dunia.
D. Solusi
Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme
Perkembangan aksi terorisme pada saat ini telah membuat dunia
menjadi tidak aman. Ancaman terorisme dapat terjadi kapan saja dan di mana saja
serta dapat mengancam keselamatan jiwa setiap orang. Saat ini tidak ada tempat
yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman terorisme. Dalam keadaan
negara Indonesia yang sedang membangun pada saat ini, diperlukan kemantapan stabilitas
keamanan di semua bidang. Selama jaringan terorisme Internasional memiliki
ruang untuk tumbuh dan berkembang, maka kemantapan stabilitas keamanan dalam
negeri akan terancam. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pencegahan
terorisme diantaranya:
1.
Menghentikan
penjajahan terhadap negara-negara muslim, serta mengembalikan hakhak umat Islam
terutama di Palestina, Afganistan dan Irak.
2.
Menghentikan
penindasan dan pengekangan terhadap umat Islam dari menjalankan ajaran
agama mereka, terutama di negara-negara yang mayoritas non muslim.
3.
Menegakkan
nilai-nilai keadilan di tengah-tengah masyarakat, serta menumpas segala bentuk
maksiat dan kemungkaran terutama penodaan terhadap agama.
4.
Menanamkan
aqidah yang benar kepada umat, terutama generasi muda.
5.
Mempelajari ilmu
agama dari ulama yang terpercaya dalam ilmunya. Bukan orang yang berpura-pura
seperti ulama.
6.
Mengembalikan
persoalan-persoalan besar dan penting kepada penguasa.
7.
Adanya kerjasama
antara ulama dan umara' dalam pencerahan pemahaman agama kepada generasi
muda.
8.
Perhatian orang
tua terhadap pendidikan agama anak-anak mereka serta mengawasi kegiatan
anak-anak mereka di luar rumah.
9.
Kepedulian
masyarakat terhadap sesama, meninggalkan sikap acuh dan individualisme.
10. Meningkatkan
pengawasan ulama dan pihak terkait terhadap perkembangan pemahaman agama
yang berkembang di masyarakat.
E. kesalahan
Penanggulangan Kasus Terorisme di Indonesia
siapapun orang di dunia ini pastilah menolak
terorisme. Agama manapun itu pastilah juga tidak setuju aksi teror. Jika ada
terorisme, semua pihak pasti sepakat bahwa aparat kepolisian harus mengambil
peran terdepan menumpasnya. Masyarakat akan membantu dan menyokong tugas polisi
tersebut. Semua pihak tentu akan sepakat jika aparat berwenang menaati aturan
main saat menumpas berbagai aksi teror. Sebaliknya, semua pihak pastilah
menolak jika aparat kepolisian menghalalkan berbagai cara saat menjalankan
tugasnya.
Di sinilah masalahnya, sebagai aparat penegak hukum,
polisi tidak jarang melanggar aturan main, terutama saat menjalankan tugasnya.
Para korban penangkapan terkadang mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya dari
polisi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mendapat teror, baik fisik maupun
non-fisik. Jika ituu benar, maka polisi menjadi pihak pertama yang melanggar undang-undang.
Pelanggaran itu pula yang mencuat ke permukaan saat polisi menciduk paksa sejumlah aktivis Islam
di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Solo, Sukoharjo, Wonogiri, Mojokerto, dan
lainnya.
Dalam hal ini apa saja yang dilanggar polisi?
Menurut Direktur Eksekutif Front Perlawanan penculikan (FPP) Kholid Syaefullah, dalam menjalankan
aksinya, polisi acap kali mengabaikan aturan mainyang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia. Semestinya dalam setiap aksi penangkapan seorang petugas dilengkapi
dengan surat perintah tugas untuk menagkap. Selain itu, harus melengkapi diri
dengan surat perintah pengkapan yang ditunjukkan kepada seseorang yang akan
ditangkap sesuai identitasnya. Namun kenyataanya justru hal itulah yang sering
diabaikan aparat kepolisian. Bila hal ini benar, maka asas praduga tak bersalah
yang diianut Indonesia hanya ssemacam slogan saja.
F. Pelanggaran Terorisme Terhadap
Syari'at Islam
Doktrin terorisme yang disuarakan kaum ekstrim telah
melanggar syari’at Islam dengan berbuat zalim dan kerusakan di muka bumi.
Dengan mengatasnamakan Islam, mereka melakukan aksi teror yang melukai umat
Islam. Tidak hanya secara fisik tapi juga melukai hati umat Islam. Berikut ini
pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Islam.
1.
Pengkafiran terhadap kaum muslimin
2. Keliru dalam memahami kode etik jihad
3. Melakukan pembunuhan tanpa alasan syar'i
4. Membunuh diri sendiri untuk menutup kesalahan atau
karena tidak sanggup menahan luka
5. Menebarkan rasa takut di tengah-tengah kaum muslimin
6. Membuat kerusakan di muka bumi
7. Mencemarkan nama baik Islam dihadapan umat agama
lain
Dari semua hal tersebut
di atas, seharusnya para teroris yang menyatakan dirinya Islam dan
mengatsnamakan Islam atas segala perbuatannya berfikir dua kali sebelum
melancarkan aksi terornya. Jangan hanya dengan dasar jihad fi sabilillah lalu
mereka melakukan pembunuhan, pengeboman, pengrusakan, dan lain-lain yang malah
mencemarkan nama baik Islam di mata dunia. Bukankah masih banyak jalan untuk
membela agama Islam, tidak harus dengan aksi teror yang menyakiti hati umat
Islam di dunia.
BAB III
FUNDAMENTALISME KEBERAGAMAAN
A.
Paham
Fundamentalisme
Gerakan Islam fundamentalis muncul karena
pemahaman agama yang cenderung tekstualis, dan hitam-putih. Pemahaman seperti ini akan dengan
mudah menggiring pada sikap keberagamaan yang kaku. Pembacaan agama tidak bisa
terlepas dari konteks historisnya. Untuk itulah, pembacaan yang terbuka akan
menghindarkan kita dari sikap yang berbau kekerasan. Semua fenomena
dan/atau prilaku sosial itu bermula dari apa yang ada dalam pikiran individu.
Bertolak dari hal ini jika dicermati
maka tidak heran jika fundamentalisme
dengan ideologi yang mereka fikirkan akhirnya
menimbulkan fenomena sosial yang unik seperti terjelma dalam Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Front Pembela Islam(FPI),
Jama'ah Islamiyah(JI), Hizbut Tahrir (HT), Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dan banyak lagi yang
lainnya.
B. Fundamentalisme Islam
Fundamentalisme Islam
merupakan fenomena sosial diberbagai negara sebagai akibat dari derasnya arus
modernisasi, dan ketidakpuasan terhadap nilai-nilai
sosial yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Fundamentalisme mengambil bentuk perlawanan-terkadang berbentuk radikal. Acuan yang
digunakan sebagai ukuran apakah nilai-nilai sosial yang nampak itu bagus apa
tidak, perlu dilawan atau tidak adalah al-Qur’an dan Hadith.
Bagi kaum fundamentalis, Islam adalah satu-satunya
jalan hidup dan harus ditegakkan
tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejahteraan kelompok
lain. Jalan lurus( al -
sirat al mustaqim) telah ditentukan. Tuhan diwujudkan melalui
seperangkat perintah hukum
positif yang menunjukkan jalan yang benar dan
bertindak pada semua keadaan. Satu-satunya tujuan hidup manusia dimuka bumi adalah merealisasikan perwujudanTuhan dengan melaksanakan hukum Tuhan secara patuh dan taat.
Kehidupan yang tunduk dan patuh pada hukum Tuhan
dianggap lebih superior dari pada yang lainnya. Para pengikut semua jalan hidup yang lain dianggap kafir,
munafik atau pun fasik. Dengan mengikatkan diri pada kepastian hukum yang telah
ditetapkan kaum yang terbimbing dan yang sesat lebih muda dibedakan.
Kaum yang terbimbing adalah yang mematuhi hukum-hukum Tuhan sedangkan kaum tersesat adalah yang menolak, berupa
melemahkan maupun mendebat hukum Tuhan.
Kaum fundamentalis merasa lebih terbimbing
dan superior karena Tuhan berada dipihaknya. Kaum muslim fundamentalis juga
merasa kesempurnaan dan kekekalan Tuhan dapat digapai sepenuhnya dimuka Bumi ini.
Seolah kesempurnaan Tuhan diletakakan pada
dalam hukum Tuhan. Kesan yang terbangun adalah Kaum fundamentalis dapat
menciptakan tata sosial yang mencerminkan kebenaran ilahi.
C.
Faktor-Faktor Sosial Yang Melatar
Belakang MunculnyaFundamentalisme
Fundamentalisme muncul dipermukaan kehidupan sosial
bukannya tanpa sebab yang melatar belakangi. Tentu saja ada dasar
teologis yang digunakan pembenaran dari sikapnya yang radikal, tidak mengenal
kompromi, keras dan tidak toleran. Yang
paling penting untuk dicermati adalah bahwa fenomena ini tidak mungkin muncul dalam kondisi sosial yang
vakum.
Sikap Barat yang tidak adil
dalam berhubungan dengan dunia Islam merupakan salah satu indikasi yang kuat
pemicu munculnya fundamentalisme ini. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa sikap
barat dan Israel terhadap Palestina telah menimbulkan militansi tertentu di kalangan Muslim yang merasa harus menunjukkan solidaritasnya kepada bangsa dan negara Palestina.
Selain itu bagaimana barat menghabisi umat Islam di Iraq dan memporak-porandakan hubungan atau ukhuwwah Islamiyyah di Timur tengah dan masih banyak lagi ketidak
adilan yang dilakukan oleh Amerika beserta kroninya terhadap umat Islam.
Dalam konteks ini dalam menghadapi raksasa yang besar telah menyebabkan mereka untuk menoleh
pada cara survival yang mungkin bisa mereka
lakukan. Bom bunuh diri, meneror, dan
menyerang kepentingan pendukung Israel dan Amerika beserta kroninya
secara tidak langsung merupakan pilihan bagi mereka.
Sudah barang tentu ha1 ini tidak bisa untuk dibenarkan karena akan mendatangkan
akibat bagi orang yang tidak ada sangkut
pautnya dengan konflik diatas. Namun kenyataan ini telah memberi pelajaran
suatu tindakan atau sikap apapun namanya tidak pernah lepas dari konteksnya. Jika
asumsi ini benar, fundamentalisme dan radikalisme meskipun menggunakan agama sebagai payung maka ia juga tidak
lepas dari konteks dari mana sikap seperti itu lahir.
Hasan Hanafi dalam ha1 ini juga punya pandangan bahwa
fundamentalisme dan radikalisme agama muncul karena beberapa sebab,
paling tidak ada dua sebab kemunculan aksi kekerasan dalam
fundamentalisme Islam. Pertama, karena tekanan rezim politik yang berkuasa.
Kelompok Islam tertentu tidak mendapat hak kebebasan berpendapat.
Kedua , kegagalan-kegagalan
ideologi sekuler rezim yang berkuasa, sehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme agama dianggap
sebagai alternatif ideologis satu-satunya
pilihan yang nyata bagi umat Islam.
Fundamentalisme juga muncul karena ketiadaan
kemampuan dalam menghadapi modernitas dan
perubahan. Perlu digaris bawahi, fundamentalisme merupakan spirit gerakan dalam radikalisme agama.
Karena gerakan radikalisme itu muncul sebagai respon atas modernitas maka
sebaiknya dilihat hubungan antara tradisi dan modernitas secara obyektif. Dalam
tubuh modernitas juga mengandung banyak ekses negatif. Antisipasi yang
dilakukan
menyebabkan “totalitas” penolakan
atas dasar agama. Hal ini bagi pendukung
modernisasi tentunya juga tidak bisa seratus persen dibenarkan karena
modernitas adalah sebuah fase sejarah yang mengelilingi
kehidupan manusia, di mana terdapat sisi positif dan juga negatif.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Bakar,Abu Ebi Hara, Islam Radikalisme dan Demokrasi,
Jurnal
Ulil Absor Abdalla, Senandung Librasi Berirama Ancaman Mati,
IslamLib.
Com
Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana 2008,
Erick
Hiariej, Terorisme dan Dislokasi Sosial, Kompas 6 Agustus 2005, hlm. 7.